Pages

Selasa, 20 Maret 2012

Introspeksi Diri

Setiap orang pasti memiliki sejuta permasalahan dalam hidupnya. Permasalahan itu tidak sedikit berbekas pada luka yang mendalam sehingga menimbulkan rasa ego untuk tidak memaafkan segala kesalahan mereka yang telah menyakiti hati kita itu.

Dikala luka batin tersentuh sungguh menyakitkan, namun disinilah saat yang tepat untuk introspeksi diri kita secara pribadi dan berusaha mencari kesembuhan, agar luka batin itu tidak membusuk lebih lama.

Kadangkala, saat keadaan seperti ini, kita lebih sering menyalahkan mereka yang telah berbuat salah kepada kita.

Apakah dengan menyalahkan mereka yang menyakitkan hati itu lantas membuat luka batin kita sembuh? Jawabnya tidak!

Justru dengan introspeksi masa lalu, kita akan mengeluarkan segala bentuk emosi kita dengan menitihkan air mata, dengan begitu kita akan merasakan damai dan saat itulah kita harus mampu mengampuni orang yang menyakiti hati kita tersebut dan kita harus mohon pengampunan kepada Tuhan.

Berhenti untuk selalu menyalahkan orang lain, tetapi lihat lah diri sendiri itu jauh lebih baik.




Butuh Apa Ingin ?


“Jumlah orang Indonesia yang berpenghasilan menengah tumbuh pesat dalam tempo kurang dari sepuluh tahun. Jika ukuran Bank Dunia yang dipakai, yakni bahwa kelompok ini adalah mereka yang pengeluaran per kapita per harinya US$ 2-20, terdapat sekurang-kurangnya 130 jita orang. “
(sumber Tempo edisi 20-26 Februari 2012)

Semakin tinggi tingkat penghasilan seseorang maka pola konsumsi nya semakin meningkat pula. Pemenuhan hidup akan barang dan jasa, hiburan dan wisata semakin luar biasa.
Sangat tidak terbayangkan beberapa tahun terakhir ini banyak konser artis mancanegara berlomba datang ke negara kita ini, dan sangat diserbu penonton,meski tiketnya belasan juta sekalipun.
Ribuan masyarakat rela antri panjang berjam- jam demi mendapatkan sebuah gadget terbaru dengan harga yang relatif miring.
Restoran mahal  yang selalu ramai dikunjungi kelompok – kelompok golongan atas.
Nah.. itu adalah beberapa fenomena yang mengejutkan namun itulah realita hidup saat ini. Mungkin dengan melakukan hal itu dapat menyenangkan diri mereka, yah cukup mereka yang tahu.
Namun bagaimana kita melihat sedkit saja ke bawah?
Sangat timpang sekali, ketika kita melihat keadaan kemiskinan dimana – mana, mungkin dengan biaya satu tiket konser, sudah mampu untuk menghidupi mereka dalam kurun waktu yang panjang.
Saya jadi teringat sebuah kalimat “ yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin” sebuah kalimat sederhana namun bermakna banyak.
Lagi – lagi inilah realita, menyakitkan bagi yang kekurangan namun menyenangkan bagi yang berkelebihan. Menutup mata? Mungkin saja
            Setiap hiburan pasti dapat mempengaruhi psikology seseorang.  Namun apakah secara psikology mereka sungguh sangat bahagia? Belum tentu. Hal tersebut belum tentu membahagiakan mereka, mungkin saja kegiatan yang mereka lakukan hanyalah sebuah batasan kelas, yang membuat mereka dapat terhitung dalam kasta kelompok kehidupan mereka, dan jarang bagi mereka untuk selalu mengucap syukur daan selalu merasa berkekurangan lagi dan lagi, serta sulitnya membedakan antara keinginan dan kebutuhan.

Wajah Hukum Ekonomi di Indonesia

Realita wajah hukum di Indonesia masih belum mencerminkan suatu keadilan yang utuh, hukum sepertinya masih dimiliki oleh para pemangku jabatan saja. Ibarat hukum rimba, yang kuat dialah yang menang. Pihak kuat menikmati, pihak lemah berkubang pada penderitaan yang menerpa mereka.
Sangat menyedihkan keadilan sudah tidak berpihak kepada yang pihak yang benar lagi, namun balik lagi ini lah kenyataan yang tidak dapat ditutupi lagi.
            Terlalu banyak ketidakadilan hukum di negeri kita ini, sekarang hanya tinggal semboyan belaka dan goretan tinta dalam lembaran demi lembaran kertas saja, yang lambat laun akan habis di makan oleh waktu.
Berbagai kasus ringan maupun berat masuk ke dalam ranah hukum. Terlihat adil, namun di tilik lebih dekat terdapat ketidakadilan yang sangat luar biasa.
            Seperti baru – baru ini kita dengar berita berbagai kasus kejahatan ringan yang dilakukan warga masuk kedalam ranah hukum.

Sebagai contoh nyata misalnya dalam kasus pencurian sandal di Palu, Sulawesi Tengah, hakim menyatakan AAL, anak berusia 15 tahun, bersalah mencuri sandal milik seorang anggota polisi.
( kompasiana.com )

Memang mencuri adalah kesalahan dan patut mendapatkan hukuman. Sekali lagi hukum harus adil, tidak pandang bulu.Namun hukuman seperti apa? Layaknya hukuman buat anak dibawah umur dengan kejahatan ringan, tidak perlu diperpanjang.
Sangat berbanding terbalik mengenai penjahat korupsi milyaran hingga triliyunan yang menyangkut kesejahteraan masyarakat. Jangankan diberi hukuman selaknya, kasusnya saja dengan sengaja ditutup sedemikian rupa. Padahal jika dilihat dari latar belakang kasus masing – masing, para pelaku kecil mungkin hanya bisa mempertahankan hidup saja, tapi para pelaku berkelas, dengan segala kebutuhan sudah terpenuhi, namun tetap berlaku demikian demi keinginan yang tidak ada habisnya, yang mungkin kekayaan mereka mampu hingga tujuh turunan.
Namun dilihat dari hukum yang diterima, pelaku kecil mendekam di jeruji besi dan mendapatkan denda berjuta – juta, sedangkan pelaku berkelas dapat bebas dengan nyaman berkeliaran semau mereka. Kalau pun mereka mendekam jeruji besi, pasti mengantongi hak – hak istimewa. Dengan berbagai fasilitas mewah yang pastinya tidak didapatkan bagi mereka pelaku kecil itu.
Apakah ini keadilan ? Kaya berkuasa, miskin merana. Bagaimanakah hukum di Indonesia ?
UUD 1945 pasal 27 ayat (1) menyebutkan ” setiap warga negara sama kedudukannya didalam hukum dan pemerintah , dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kekecualian”.

Tapi kenyataan dilapangan berbeda, siapa yang punya uang dia bisa membeli hukum dan yang tidak punya uang terima nasib saja.
Jadi, pasal ini sungguh tidak terealisasikan dengan baik dan masih berlaku miring.
            Hukum tidak memiliki keadilan membuat masyarakat kehilangan kepercayaan kepada sistem hukum. Padahal dalam membangun negara yang demokrasi haruslah memiliki sistem hukum yang mampu diandalkan.
Inilah tantangan terberat pemerintah. Membangun sistem hukum yang bisa dipercaya, ditengah ketidakadilan dimana – mana.
            Tanpa perlu berfikir panjang, masyarakat dengan tegas mampu berkata bahwa hukum bisa dibeli bagi pemilik uang banyak. Sungguh sangatlah hancur sebuah negara, apabila memiliki wajah hukum yang rusak. Hal ini harus mampu menggugah pemikiran pemerintah untuk segera memerangi kekacauan yang terjadi, jangan sampai keadaan di pendam sampai sedemikian parah.
            Kita hanyalah masyarakat awam, hanya mampu berharap yang terbaik. Terbaik untuk berbagai pihak, terutama untu masa depan hukum di Indonesia ini.
Suatu keadilan yang selayaknya mampu menempati posisi yang semestinya dan kita harus bersatu dan memantau segala bentuk jalannya pemerintahan negara kita ini, agar tercipta wajah hukum yang seimbang tanpa beda bulu.

Penegakan Hukum di Indonesia

Sangatlah tidak sulit untuk memaparkan bahwa kondisi hukum di Indonesia saat ini semakin memprihatinkan. Banyak tangis dan ratapan masyarakat yang terluka oleh hukum, bahkan tidak jarang emosi masyarakat semakin tersulut dikala ada pihak – pihak tertentu memanfaatkan hukum dalam mencapai suatu tujuan tertentu tanpa menggunakan hati nurani.
Dunia hukum Indonesia tengah mendapatkan sorotan yang keras dari berbagai macam lapisan masyarakat internal maupun eksternal, terutama mengenai penegakan hukum di Indonesia.
Sebelum bergerak mengenai penegakan hukum di Indonesia, baiknya kita memahami kembali defenisi dari pada hukum itu sendiri.
“ Hukum adalah suatu sistem terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan.”
“ Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk meniptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soekanto, 1979).”
Sangatlah jelas bahwa segala sesuatunya harus bergantung dengan hukum yang berjalan di Indonesia. Indonesia sendiri memiliki hukum yang secara gambalang tertulis dalam Undang – Undang.
Namun, kalau kita lihat secara kasat mata, akhir – akhir ini hukum sudah tidak berjalan dengan tegas. Kita ambil berbagai kasus mengenai aparatur negara yang tidak memiliki ujung penyelesaian yang jelas, bahkan dapat hilang begitu saja. Coba bandingkan dengan kasus yang mengenai kaum miskin, yang mungkin hanya dengan masalah kecil saja namun penyelesainnya sangatlah berlebihan bahkan di hukum hingga membabi buta. Sungguh sangat tragis, bukan?
Yah.. itulah sebuah realita hukum di negara kita ini. Hukum sudah disusun dengan sebaik mungkin, namun pelaksanaannya jauh dari kata baik.
Kalau ditanya sampai kapan adanya keseimbangan hukum akan berjalan dengan maksimal, mungkin tidak banyak orang hanya mampu mengernyitkan dahi dan berlalu pergi.
Sangatlah disayangkan perjuangan pahlawan yang bersusah payah menuangkan buah pikir dengan berbagai sejuta harapan, namun sekarang realitanya semuanya berjalan buruk.
Seharusnya pengegakan hukum itu harus mampu menyelaraskan pihak – pihak yang terkait hukum, tanpa memandang kiri ataupun kanan. Dalam artian, hukum harus bersifat netral dan harus memiliki faktor – faktor yang kuat, antara lain :
Faktor-faktor tersebut adalah, sebagai berikut:
1. Faktor hukumnya sendiri, dalam hal ini dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
                                                                                                            ( sumber wikipedia )
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektivitas penegakan hukum.
            Suatu penegakan hukum tidak lepas dari namanya aparatur penegah hukumnya sendiri. Penegak hukum harus menjadi golongan panutan masyarakat, yang hendaknya mempunyai kemampuan sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Mereka harus mampu berkomunikasi dan mampu membawakan peranan yang mampu diterima masyarakat luas, antara lain bersikap :
1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman maupun penemuan baru.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.
6. Menyadari akan potensi yang ada dalam dirinya.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib.
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri dan ihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.
                                                                                                            ( sumber wikipedia )
Ini menjadi sebahagian penting mengenai penegakan hukum di Indonesia ke arah yang lebih baik, dikarenakan masyarakat Indonesia mempunyai kecenderungan yang besar untuk mengartikan hukum dan mengidentifikasikannya. Kalau sistem hukum tidak tegak dianggap karena pola perilaku penegak hukum tersebut sendiri.
Masih besar harapan masyarakat kelak adanya perubahan yang baik mengenai penegakan hukum di Indonesia. Sangat diperlukan penegasan, dan pengertian masing – masing pihak dengan tetap bersifat netral, tidak condong ke kiri maupun ke kanan, demi kepentingan dan kebaikan hukum di tengah masyarakat internal maupun eksternal.